Minggu, 12 Februari 2012

Nota dan Kejujuran

tulisan bukanlah tulisan sebelum ia dituliskan!


NOTA DAN KEJUJURAN.

Bisakah anda  memberikan harga dari kejujuran anda? Mungkin anda akan sedikit bingung dengan pertanyaan yang tidak terduga ini. Padahal, tidak sedikit dari kita yang secara tidak sadar (barangkali?) yang sudah memberikan harga dari kejujuran yang dimilikinya. Jika kita ingin membicarakan tentang kejujuran, sangat menarik jika kita dapat mengaitkannya dengan nota. Ini adalah karena berdasarkan pengalaman saya dan mungkin juga ini adalah saat yang tepat karena berita tentang perjalanan dinas fiktif oknum PNS sedang menjadi bahan cerita yang sangat menarik untuk diperbincangkan akhir-akhir ini.

Di perusahaan tempat saya berkerja, seringkali terjadi atasan saya meminta tolong untuk membelikan barang-barang keperluan kantor secara mendadak. Dan sudah menjadi kewajiban untuk setiap barang yang dibeli akan dibuatkan nota pembeliannya. Nah, disinilah saya akan bisa mempertanyakan, “berapa sih harga kejujuran itu?”. Wow, Mengapa pertanyaan seperti itu bisa muncul dibenak saya? Apakah saya berniat untuk berbohong? Lagipula menurut teori Bang Napi, selain niat, orang juga akan berbuat jahat karena adanya kesempatan. Alhamdulillah..., saya sudah mengikatkan diri pada tali mutiara kata yang menguntai bunyi, “Orang yang baik adalah orang yang mempunyai kesempatan untuk berbuat jahat tetapi dia memilih untuk TIDAK melakukannya!”.

Rasanya bukan hal rahasia lagi, walaupun nota adalah sebagai bentuk pertanggungjawaban uang kepada barang yang dibeli, nota ini juga sekaligus dapat menjadi tolok ukur atas kejujuran kita. Pernah satu ketika, saya mengganti beberapa alat suku cadang motor perusahaan disaat sedang melakukan tugas luar. Setelah semuanya selesai dan saya pun meminta nota untuk menjadi bukti (selain alat diganti) di perusahaan nantinya. Alangkah kagetnya saya ketika disodorkan nota kosong yang tidak tertuliskan apa-apa selain stempel dari bengkel tersebut. Dalam kebingungan yang seketika menjadi sebuah keheranan besar, saya mempertanyakan hal itu. Dan bertambahlah volume kekagetan saya dari penjelasannya yang mengatakan hal itu sudah menjadi sebuah kebiasaan apabila ada yang meminta nota. Menurutnya lagi, biasanya mereka (meminta nota kosong) akan menuliskan nota dengan harga diatas harga yang diberikan oleh bengkel tersebut. Iseng-iseng, saya mempertanyakan berapa selisih harga yang biasanya dituliskan dinota dengan harga pembelian yang sebenarnya. Sungguh sebuah jawaban yang membuat saya tertawa dengan lucunya takdir kehidupan di bab nota dan kejujuran ini. Menurutnya, selisih harga paling tidak Rp. 5000 untuk menghindari kecurigaan. Walau di kali banyak sekalipun, semiskin-miskinnya saya, saya tidak akan pernah meletakkan harga atas kejujuran yang saya miliki. Akhirnya, saya memutuskan untuk menerima nota yang tertulis (sesuai harga), berstempel dan (plus) memiliki nomor ponsel bengkel tersebut. Jika orang yang meminta nota kosong menghindari kecurigaan atas kebohongannya dengan menambahkan selisih harga maksimal Rp. 5000, adalah baiknya saya akan menghindari kecurigaan atas kejujuran saya dengan menambahkan permintaan nomor ponsel bengkel/toko (untuk klarifikasi perusahaan) karena buruk atau baiknya kita adalah pilihan kita, bukan?

Kisah nota dan kejujuran dari saya ini belum berakhir. Di satu waktu yang lain, saya bersama teman saya diminta oleh salah satu staff di kantor saya untuk membeli barang di sebuah toko yang menurutnya total harganya adalah sebanyak Rp. 50000. Tetapi seperti biasanya sebuah transaksi di antara pembeli dan penjual, terjadilah proses tawar menawar. Harga di toko barang tersebut setelah ditawar adalah Rp. 40000. Anehnya, teman saya mengajak saya untuk tetap ‘menotakan’ harga Rp. 50000. Ini luar biasa menurut saya. Bagaimana tidak, ketika banyak orang mengatakan jujur adalah barang yang langka di Indonesia, teman saya punya pemikiran untuk ‘menjual’ kejujuran dua jiwa hanya dengan harga Rp. 10000. Ironis!

Tetapi beruntung saya tidak bergeming dan atas kehendak-Nya hal tersebut tidak terjadi. Apa kata dunia di akhirat kelak jika hal itu sampai terjadi?
“ Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.” (QS. Al-Maidah: 119)
Adalah lebih baik menurut saya bertanggungjawab daripada menanggung malu. Seperti adegan lucu di negeri ini, jika anda bukanlah orang yang jujur, maka menjadi hal yang wajar jika pimpinan atau wakil anda juga adalah orang-orang yang tidak jujur.

Al Marudzi telah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal. “Dengan  apakah seseorang itu meraih reputasi hingga terus dikenang?”. Imam Ahmad menjawab, “Dengan perilaku jujur”. Beliau juga menambahkan, “Sesungguhnya perilaku jujur terkait dengan sikap murah tangan.”  (Thabaqatul Habilah, jilid 1).

Sebenarnya sikap jujur merupakan naluri setiap manusia. Kerananya itu, jujur juga adalah salah satu pilar dari aqidah agama Islam. Sedangkan jujur menurut KBBI adalah lurus hati, tidak berbohong, tidak curang, tulus dan ikhlas. Sungguh beruntunglah orang-orang yang menjadikan jujur sebagai prinsip hidupnya kerana sudah lebih dari cukup untuk kita menyimpulkan bahwa jujur adalah kemuliaan yang tidak akan ternilai harganya. Tetapi jika anda masih ingin menuliskan harga diatas nota untuk kejujuran yang anda miliki, berapa total harga yang ingin anda inginkan?!

Tulisan ini juga dapat dilihat di Kompas di http://filsafat.kompasiana.com/2012/02/12/nota-dan-kejujuran/ 

*Penulis saat ini magang di PT PAL.

Minggu, 05 Februari 2012

'Magang' di PT PAL




‘Magang’ di PT PAL.

Pernahkah anda merasakan betapa sulitnya dimasa sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan seperti yang di idam-idamkan oleh banyak orang? Lalu, pernahkah juga anda mencoba membayangkan betapa sulitnya jika telah sekian lama berkerja namun masih berstatus magang dan jauh dari merasakan hak-hak yang seharusnya dimiliki serta tidak diberikan seperti apa yang seharusnya? Jika masih dalam wacana untuk bekerja sebagai magang, sebaiknya anda membaca tulisan ini untuk dijadikan sebagai referensi. Tulisan ini adalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman saya berkerja di PT PAL yang kini telah memasuki masa 4 tahun berkerja sebagai magang.

Dalam konteks Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), pemagangan merupakan subsistem dari pelatihan kerja. Pemagangan dalam rangka pelatihan kerja tersebut dapat dibedakan lagi berdasarkan wilayahnya, yakni Pemagangan Luar Negeri (Permenakertrans No. Per-08/Men/V/2008) dan Pemagangan Dalam Negeri (Permenakertrans No. Per-22/Men/IX/2009).
“Sekarang ini perusahaan berproduksi atas nama magang, kalau orang magang satu tahun rutin berturut-turut , maka itu namanya bekerja,” ungkap Thamrin Mosii, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia sebagaimana yang diberitakan detik.com. Lalu terbuat dari apakah yang sebenarnya dimaksud dengan magang tersebut?

Magang telah diatur khusus dalam UU Ketenagakerjaan di pasal 21- 30. Dan Pemagangan menurut Pasal 1 ayat 11 UU Ketenagakerjaan maupun menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per.22/Men/IX/2009 di Bab 1 (Ketentuan Umum) Pasal 1 ayat 1 adalah:
        “bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.”
Magang di PT PAL, perusahaan yang kini saya tempati untuk berkerja berbeda samasekali dengan amanat  UU Ketenagakerjaan maupun apa yang dimaksudkan oleh Permenakertrans Nomor Per.22/Men/IX/2009 tersebut. Bagaimana tidak, para magang yang berkerja tanpa Jamsostek  berkerja sama berat, posisi dan tangungjawabnya dengan karyawan. Disini, sudah  tampak jelas adanya kesenjangan antara esensi tujuan magang yaitu mempersiapkan tenaga kerja agar memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dengan yang terjadi selama ini di PT PAL yang tidak lain adalah praktek penyaluran tenaga kerja jika tidak ingin disebut mengeksplotasikan tenaga buruh. Ini berarti, magang menjadi salah satu mekanisme yang diterapkan perusahaan PT PAL untuk menekan dan mengurangi biaya produksi semurah-murahnya dengan mengorbankan tenaga magang.

Perlukah magang mendapatkan Jaminan Sosial Tenaga Kerja? Berdasarkan Pasal 1 ayat 2,  Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 6 ayat 1  Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (UU Jamsostek), pada prinsipnya setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja, yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK). Pasal 8 ayat 2.a UU Jamsostek juga secara khusus menyebutkan, termasuk tenaga kerja dalam Jaminan Kecelakan Kerja ialah magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak. Selain itu, menurut Permenakertrans No. Per-22/Men/IX/2009 Pasal 15  ayat 1.c, Peserta pemagangan berhak untuk memperoleh perlindungan dalam bentuk Jaminan Kecelakaan Kerja dan Kematian. Inilah yang saya sangat sayangkan, dengan aturan perundang-undangan yang jelas seperti itu dan selama masa 4 tahun bekerja, saya masih tidak terdaftar di program Jamsostek  tersebut.

Selain itu, Permenakertrans No. Per-22/Men/IX/2009 Pasal 7 ayat 4 berbunyi, Jangka waktu pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat 2.e, dibatasi paling lama 1 (satu) tahun. Lalu, bagaimana saya bisa magang selama 4 tahun?  Ini jugalah yang dikritisi oleh Thamrin Mosii, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia diawal tulisan saya. Setiap tahunnya, saya diharuskan menandatangani Surat Perjanjian Pemagangan untuk tetap berkerja sebagai magang. Ini jelas akan menjadi sebuah pertanyaan jika kita dapat menangkap apa yang menjadi pandangan Thamrin Mosii tadi. Gambaran dari pernyataannya itu  adalah, saat ini jelas saya telah berkerja dan bukan magang (belajar berkerja) karena dari lamanya saya berkerja di perusahaan PT PAL tersebut. Magang dan berkerja sesungguhnya memang adalah dua hal yang sangat tipis perbedaannya.

Pada Pasal 4 Permenakertrans No. Per-22/Men/IX/2009 juga menyebutkan, Perusahaan hanya dapat menerima peserta pemagangan paling banyak 30% dari jumlah karyawan. Sedangkan ditempat saya magang sekarang ini, tenaga magang mencapai 116 orang dibandingkan karyawan yang hanya berjumlah 71 orang. Jelas persentase magang dari karyawan ini melebihi dari 150 persen!. Tentu, jika kita melihat dari aturan perundang-undangan dan persentase ini, besar harapan akan adanya rekrutan untuk menjadi karyawan di perusahaan tempat saya magang sekarang ini. Tetapi faktanya, setiap tahun magang semakin bertambah dan magang yang lebih dari setahun berkerja (bersertifikat) tetap cenderung untuk dijadikan magang.

Sangat jelas itu sudah bertentangan dengan Permenakertrans No. Per-22/Men/IX/2009 Pasal 22 yang menyebutkan, Peserta pemagangan yang telah memperoleh sertifikat pemagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat 3.a dapat direkrut langsung sebagai pekerja oleh perusahaan yang melaksanakan pemagangan. Seperti inilah juga harapan Presiden SBY yang membuat pernyataan, “Tidak bisa diterima jika perusahaan besar, kemampuan besar, keuntungan besar lantas tidak tergerak untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja,” tegasnya di acara jumpa pers di halaman Kantor Kepresidenan seperti diberitakan detik.com pada awal Februari lalu dalam menanggapi kekisruhan buruh dan pengusaha yang semakin marak terjadi akhir-akhir ini.

Tetapi jika anda mengira semua itu terjadi dan saat ini saya sedang magang di BUMN PT. PAL Surabaya yang bergerak di bidang industri galangan kapal itu, maaf. Saat ini, saya sedang magang di PT Palopo Alam Lestari (PAL) yang bergerak di industri veener (kayu lapis) di Sulawesi Selatan.


Tulisan ini juga dimuat di akun: www.kompasiana.com/lanangmerah